Day 2 Eurotrip (Strolling Amsterdam, Zaanche Schaans, Köln) dan kesialan bertubi-tubi.

Kami bangun pagi hari dengan istirahat yang cukup. Iseng-iseng buka jendela hotel ingin melihat suasana pagi hari yang cerah, ternyata jam 05:30 di Amsterdam saat musim Semi masih gelap dan sepi, belum ada aktivitas manusia, hanya petugas truck sampah besar yang sudah memulai kegiatannya. Angin bertiup kencang dari jendela wuusss… dinginnya menusuk tulang, iseng-iseng cek www.weather.com di aplikasi handphone, busyeet ternyata 3°. Sesuai dengan itin hari ke-2, hari ini kami mau jalan-jalan seputaran Amsterdam. Siang hari rencananya sekalian check out hotel, kami mau ke Zaanche Schans setelah itu kami akan memulai petualangan keliling Eropa. Jika semua sesuai dengan itinerary, harusnya sore hari nanti kami akan berada di Köln, Germany dan pagi hari esoknya kami akan berada di Hallstatt, Austria. Malamnya kami akan tidur di kereta tujuan Köln-Wels. Woow… terdengar sangat well organized, apakah semua rencana perjalanan hari ini akan berjalan mulus tanpa rintangan? Hmm.. kita lihat saja…!
Itin hari ke-2.
Yang belum baca cerita sebelum ini, baca dulu ya cerita Day 1 Eurotrip, disini: "Day 1 Eurotrip (Amsterdam, Keukenhof, Review Penginapan, Red Light District)."


Kesialan Pertama di Pagi Hari

Kami bergantian mandi dan bagi-bagi tugas, mas Adin bertugas menyusun barang-barang ke dalam 
koper, karena hari ini kami akan check out. Tugas saya tentu memasak, saya masak nasi 2x. Nasi pertama untuk kami sarapan, nasi kedua untuk bekal saat di perjalanan. Kenapa masak nasinya 2x? karena rice cookernya kecil banget (lupa berapa liter), kami beli rice cooker merk Kr*s di Ac* H*rdware, waktu itu ada diskon harganya jadi 199.000. Baru saja akan memasak nasi kloter pertama, tiba-tiba tombol “cook”nya nggak mau di tekan. Kalo di tekan bunyi ‘klik’, lampu ‘cook’ pun nyala tapi begitu di lepas tombolnya balik ke atas lagi, semacam ada yang loss gitu. Duuh gimana nih? Menyadari bahwa suami saya sangat tidak berbakat dalam hal reparasi, saya coba lihat-lihat sendiri, tekan berulang-ulang, tapi tetap nggak bisa. Akhirnya saya panggil mas Adin, kami coba pecahkan misteri ini berdua. Singkat cerita kami menemukan hacked formula. Karena sebetulnya rice cookernya masih bisa berfungsi saat di tekan, hanya masalahnya tombolnya selalu naik keatas, akhirnya solusinya tombolnya diisolasi haha.. Suatu penyelamatan yang brilian dari seorang Ahadin Mintarum. Nasi matang, kami sarapan dengan nikmatnya. 
Rice cooker yang saya beli di Ace Kira-kira mirip ini. Sumber gambar: Google.
Tibalah saatnya memasak nasi kloter kedua untuk perbekalan. Saya sangat menyadari bahwa upaya penyelamatan rice cooker menggunakan selotip adalah upaya sementara, karena sebetulnya kami tidak membawa selotip. Yang kami gunakan tadi adalah selotip bekas nempel di barang kami yang mana (entah saya lupa), yang jelas lama-kelamaan lem-nya pasti akan habis. “yaudah dipikir ntar aja, buruan selesaiin masak nasinya trus kita cabut, udah telat nih!” kata mas Adin. Okey baiklah tanpa banyak bicara lagi saya siap menekan tombol rice cooker pake selotip tapi apa yang terjadi, tombolnya nggak mau bunyi ‘klik’ lagi, bahkan lampunnya pun nggak nyala. “yaah.. ini sih mati rice cookernya, udah nggak bisa diakalin lagi”.

Bagi orang Indonesia rice cooker adalah ‘nyawa’ dalam sebuah perjalanan. Beras kami pun tentu masih banyak karena kami baru satu malam disini. Masih ada +- 10 malam lagi. Kami putuskan untuk membeli rice cooker, tapi dimana? Saya sempat bertanya sama teman-teman di group BI (Backpacker International), tapi thread saya tenggelam begitu saja, sepertinya nggak ada yang bisa jawab. Mas Adin bertanya ke Razaq teman kami. Razaq memberi clue “di tokonya orang Chinese biasanya”. Tapi Razaq kurang tau letak pasti tokonya dimana. 

Waktu sudah menunjukkan pukul 9:00, kami buru-buru beberes, menitipkan koper di resepsionis sambil bertanya “Beli rice cooker disini dimana ya?”, petugas resepsionis bilang “nggak tau” | “oh sure, u don’t eat rice” |”hehe, not much”.

Kami bergegas mencari toserba Chinese, walaupun sebetulnya clueless, Berjalan ke arah Red Light District kali aja ada. Hampir 30 menit kami berjalan, mas Adin akhirnya melihat sebuah toserba yang ada tulisan Cinanya di ujung jalan. Alhamdulillah YaAllah tokonya jual rice cooker. Alhasil kami harus menambah pengeluaran hari ini sebesar 35 euro atau sekitar 600rb-an untuk sebuah rice cooker kecil merk Panasonic (fyi, ini awet bgt, kepake sampai sekarang lo).
Kepake terus nih sampai sekarang.
Fiuuh Alhamdulillah nemu toserba begini di Amsterdam.
Jualan keripik2 kaya' di Indo juga.
Di perjalanan pulang dari toko Chinese, foto dulu di spot favorit turis, kantong  rice cooker on frame ga sengaja.
Sempat-sempatin poto bentar.
Waktu sudah menunjukkan hampir jam 11:00 siang. Tidak ada waktu untuk strolling Amsterdam di pagi hari, tidak ada waktu ke Rijksmuseum, atau sekedar jalan-jalan menyusuri canals Amsterdam yang terkenal sambil menyewa sepeda (padahal ini impian aku), apalagi ke Vondel Park. Huhuhu… syediih rencana berantakan gara-gara sepagian ini ngurusin rice cooker. Kami hanya menyempatkan ke Primark sebentar untuk membeli sun glasses. Koper kami titipkan di hotel, kami menuju Zaanche Schans.
Gagal ke Rijksmuseum.
Gagal jalan2 naek sepeda. 
Gagal ke VondelPark.


Zaanche Schans

Setelah apa yang kami lewati tadi rasanya bersyukur rencana ke Zaanche Schans ini nggak ikutan ter-skip seperti lainnya. Kami harus strict to schedule, rencana yang sudah lewat harus di relakan. Sekarang kami harus menuju Zaanche Schans sesuai jadwal, karena nanti sore jam 16:30 kami harus sudah di dalam kereta menuju Köln.

Pengalaman saya selama berada di Zaanche Schans bisa dilihat postingan ini: "Sensasi Udara Wangi Cokelat Di Zaanche Schans".
Outdoor museum Zaanche Schans. Masuknya free, tempatnya seru.


Kira-kira sebelum pukul 15:00 kami sudah check out dari Zaanche Schans. Kami kembali ke penginapan di Hotel Continental untuk mengambil koper dan berpamitan kepada petugas hotel yang ramah, “kami akan berkelana dulu, nanti kami akan kembali menginap disini lagi tgl 19 April, sebelum kami pulang ke Indonesia”

Mas Adin memang sudah melakukan pemesanan langsung di Hotel Continental untuk tgl 10 April 2017 (saat baru tiba di Ams) & 19 April 2017 (saat akan pulang ke Ind melalui Ams) jadi urusan booking & payment sudah tidak ada masalah.


Heading To Köln

Kami akan menuju Köln Hbf menaiki kereta DB ICE pukul 16:32, dari Utrecht Central Station. Dari Hotel Continental kami harus menuju Amsterdam Central terlebih dulu, kemudian naik kereta Intercity 837 Eindhoven tujuan Utrecht Central Station.

Perjalanan dari Amsterdam Central – Utrecht Central Station masih menggunakan Amsterdam Region Travel Ticket yang kami beli sehari sebelumnya (baca postingan Day 1). Perjalanan ke Utrecht ditempuh dalam waktu +- 25 menit saja.

Tidak lama menunggu, kereta DB ICE kami datang tepat waktu. Perjalanan Amsterdam - Köln ini adalah perjalanan antar negara pertama kami dalam rangkainan trip ini. Kereta DB ICE sendiri adalah kereta Germany, penumpang kereta di dominasi anak muda, sepertinya collage student. Di dalam kereta mereka banyak membaca buku, ada yang sekedar membaca novel, ada juga yang membaca jurnal, bahkan ada yang mengerjakan tugas menggunakan laptop, tapi kaya’nya nggak ada yang menggibah padahal enak hahaha..., Astaghfirullah. Sungguh pemandangan yang sangat berkelas. Walaupun ini kereta high speed tapi jalannya smooth, suasana di dalam sangat quiet, bersih dan yang bikin betah ada wifinya. Perjalanan kami tempuh dalam waktu kurang dari 3 jam, untuk jarak tempuh 225 km. +-Jaraknya sama seperti Surabaya-Banyuwangi yang ditempuh dalam waktu 6 jam naek kereta eksekutif, wow!. 
Kereta cepat DB ICE milik Germany. Source: Siemens(dot)com.
Rute Utrecht - Köln naik Kereta.
Pemandangan di dalas kereta.
Kira-kira pukul 19:12, kami tiba di Köln Hbf. Kami memang tidak ada rencana untuk keluar dari station ini, karena kami hanya punya waktu 3 jam di sini, untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan antar negara dengan kereta malam menuju Hallstatt, Austria. 
Tiba di Köln Hbf (stasiun Köln).


Cologne Cathedral (Katedral Köln/Kölner Dom)

Tujuan utama kami kesini adalah untuk melihat landmark kota Köln yaitu Katedral Köln. Sangat mudah menemukan lokasi ini, letaknya tepat berada di samping Köln Hbf (Köln Station). 
Katedral Köln yang megah.
Lokasi Katedral tepat di sebelah stasiun.
Sebelumnya kami sudah meletakkan koper-koper kami di mesin luggage deposit. Lagi-lagi kami kagum, tempat penyimpanan kopernya keren, kita melakukan self service. Ada 6 box deposit, kita bisa memasukkan koper kemudian mengambilnya dari box yang berbeda. Misal kita masukin koper di box no 1, kemudian kita bisa ambil koper tadi di box no 3. Tidak ada loker-loker besar yang terlihat, semua proses storage ini terkomputerisasi menggunakan mesin yang letaknya underground. Saya pernah norak lihat mesin penitipan barang ini di Universal Studio Singapore, waktu itu saya pikir “wah keren nih nggak pake tenaga manusia”. Lihat yang lebih keren disini saya makin norak donk, habis nggak ada begini sih di deket rumah saya haha… ini yang namanya Germany technology.

Caranya mudah, ikuti saja petunjukknya, kalau ada barengan boleh lah nyontek. Waktu itu kami sendirian walapun tulisannya bahasa Jerman but don’t skip the manual, paling tidak ada gambarnya yang bisa dijadikan petunjuk jadi bisa dipahami kok.

Katedral Köln mulai dibangun tahun 1248 dan selesai pembangunannya tahun 1880. Butuh 633 tahun untuk mendirikannya. Katedral ini merupakan bangunan bersejarah di kota Köln, dengan ciri khas bangunan bergaya Gothic yang tinggi dan runcing. Konon dulu saat Perang Dunia II, menara kembar katedral ini adalah landmark navigasi yang mudah dikenali untuk pengeboman pesawat Sekutu. Katedral ini terkena 14x hantaman bom udara saat itu, kerusakan parah pun tidak dapat terhindarkan, tapi walaupun begitu Katedral ini adalah satu-satunya bangunan yang tetap berdiri gagah saat bangunan lain di kota Köln hancur rata dengan tanah akibat Perang Dunia II. Pasca perang, berbagai renovasi pun di lakukan untuk mempertahankan bangunannya, perbaikan pasca perang selesai di tahun1956. Katedral ini pun masuk dalam daftar UNESCO World Heritage Site.

Tidak dipungut biaya untuk memasuki aula katedral ini. Namun jika ingin naik ke atas menara, pengunjung di kenakan biaya 2,5 euro. Dari atas menara pengunjung bisa melihat indahnya pemandangan kota Köln dan sungai Rhein yang membentang sepanjang kota ini. Pengelola menyediakan tour guide untuk berkeliling gereja seharga 3 euro, selama 45 menit menggunakan bahasa Inggris. 

Karena usia katedral ini sudah hampir 8 abad, pekerjaan perbaikan & pemeliharaan terus-menerus di lakukan di bagian-bagian bangunan, tuh seperti yang kelihatan di foto saya. Jadi biasanya kalo foto-foto disini tuh emank suka kelihatan scaffolding yang agak gengges alias ganggu. Tapi mo gimana lagi, namanya bangunan tua & bersejarah ya, memang harus di rawat, karena angin, hujan & faktor cuaca lainnya perlahan-lahan bisa menggerogoti batu batanya kalo nggak terus di rawat. 


Menuju Austria Dengan Night Train

Setelah makan malam di kedai Kebab, kami bersiap menuju petualangan selanjutnya. Jadwal keberangkatan kami ke Wels (Austria) pukul 21:21, kami akan bermalam di kereta. Membayangkan semalaman tidur di kereta yang dalemnya mirip Hogwarts Train (imajinasi pribadi) dan terbangun besok pagi dengan pemandangan alam Austria yang indah rasanya nggak sabar pengen cepet-cepet naik kereta. Sebelumnya saya sudah membeli paket chicken wings & drum stick KFC untuk bekal di kereta. Kan enak tuh makan yang gurih-gurih hangat di dalam kereta yang dingin.
Köln HBF.
Cerita sedikit tentang pemilihan rute ke Hallstatt. Hallstatt sendiri sebetulnya memang agak nyemplang dari rute jalan-jalan kami, karena letaknya di Timur. Tadinya memang kami akan mencoret rute ini karena kami anggap kejauhan tetapi akhirnya rute ini dimasukkan lagi alasannya karena memang pemandangan alamnya sebagus itu katanya, saking bagusnya sampai dimasukkan dalam daftar UNESCO World Heritage Sites, makanya kami berdua penasaran.

Kami bersiap di platform menanti kedatangan kereta OBB. Gerbong kami nomor 251. Kereta datang tepat waktu, kami teliti melihat setiap nomor gerbong. “Bener ini kan keretanya?” kata saya sambil sedikit teriak. Mas adin memeriksan print2an kertas tiket lagi, membandingkan dengan layar monitor di platform. “bener kok!”| “kok nggak ada nomor 251” masih sambil teriak karena suara kereta lebih keras. “iya ya kok nggak ada ya” mas Adin bingung. Deg.. apa jangan-jangan kami salah kereta?!. “kita nggak salah kan?” | “nggak kok” | “yaudah kalo nggak salah buruan naik, nanti aja di tanyakan gerbongnya sama petugas”, saya segera naik kereta sedangkan mas Adin masih bingung dengan tiketnya dan tidak segera naik. Padahal keretanya sudah akan berangkat, lewat dikit ya bhay...!. Saya ingat sekali malam itu saya yang sudah diatas gerbong pengen nangis karena kuatir mas Adin ketinggalan kereta. Kan ruwet urusannya kalo saya terbawa kereta sedangkan mas Adin tinggal. Handphone yang kita punya pun nggak ada gunanaya kalo nggak ada paketan datanya kan?!. 

Singkat cerita mas Adin berhasil naik ke gerbong setelah perjuangannya lari-lari. Kami ada di gerbong barang. Ya gerbong barang. Ternyata bukan hanya kami yang kebingungan, tapi juga +-7 penumpang lainnya sama bingungnya dengan kami. Gerbong nomor 251 kami tidak ada. Kita semua tau kan bahwa nomor gerbong dalam rangkaian kereta dimanapun di dunia ini urut sesuai nomor. Kereta OBB yang kami naiki ini aneh, habis nomor 249, 250, kemudian gerbong tanpa nomor (yang mana ternyata ini adalah gerbong barang yang kami naiki), lalu nomor 252. “Jadi mana gerbong 251?”, “mana tempat duduk kami?”, “hey kami kan sudah beli tiket, lalu semalaman ini kami akan duduk dimana?” kira-kira mungkin begitu yang ada dalam pikiran orang-orang di gerbong barang ini. 
Kereta cepat OBB milk Austria.
Beneran di gerbong barang, campur sepeda, nggak ada tempat duduk, nggak ada penghangat ruangan. Feat: kantong KFC :D 
Petugas datang melewati gerbong kami langsung di serbu pertanyaan dari penumpang, kami berusaha nimbrung dan mendengarkan, mungkin saja ada petunjuk. Penumpang bertanya – petugas menjawab... menjawab dengan panjang-lebar... menjawab dengan bahasa Jerman. Damn!? Penumpang lain tampak diam mengerti dan mengangguk paling protes dikit, kemudian beberapa orang bubar, “eh.. loh kok bubaran.. mau pada kemana? Ada gerbong pengganti kah? Bagi-bagi info donk” jerit saya dalam hati. Kami?... bagaimana nasib kami... Kemudian tiba-tiba ada yang bilang “Sorry mister, English please!”, huff.. rasanya bagai diguyur hujan di tengah padang pasir, ada yang ga paham juga rupanya selain kami. Petugas hanya menjawab “251 is not coming!” kemudian berlalu. WAIT! WHAT? WTF?!. 

Kami mendatangi pria bule yang bilang “English please!” tadi. Mencoba bertanya dan berdiskusi karena dari semua penumpang hanya Mr. English Please ini saja yang sepertinya bisa kami ajak berkomunikasi. Jadi dia bilang, intinya “saya agak mengerti yang di bilang petugas tadi, saya bisa bahasa Jerman tapi dikit-dikit”, “petugasnya bilang, gerbong kita tidak datang, malam ini kalian duduk saja di bangku yang kosong aja, terserah deh, cari sendiri”. Kira-kira begitu penjelasannya, makanya langsung pada bubaran, sibuk cari bangku kosong. 

Gini ya rupanya tinggal di negara maju yang penduduknya cuek, kalo di Indonesia saya jamin para penumpang terlantar pasti pada protes keras, marah-marah, minimal ngomel yang durasinya ngalah-ngalahin lama perjalanannya. Dapat ganti rugi atau nggak yang penting ngomel is number one. Aahh.. saya mulai merindukan suasana anarkis semacam itu, sungguh indah pertikaian. Disini kalo mau kaya’ gitu nggak ada temennya, everything went well and smooth, like nothing ever happened before. 


Nasib kami selanjutnya…

Sial banget nasib kita hari ini Sayang, pagi-pagi rice cooker rusak, nggak jadi jalan-jalan keliling Amsterdam, nambah pengeluaran dengan beli rice cooker baru, eeh tengah malam waktunya tidur malah gerbong kereta kita nggak dateng” saya mencoba membuat daftar check list kesialan kami hari ini. Hari yang sangat panjang dan melelahkan. Sejujurnya kami sudah sangat ngantuk malam itu, tapi lantai gerbong barang ini terlalu dingin untuk di tiduri. Di gerbong barang tentu tidak ada penghangat ruangan, lantainya dingin kaya' es. Sama halnya dengan gerbong barang di kereta Indonesia juga ga mungkin di kasih AC kan?!.
Sumpah ini lantainya dingin bgt tau'.
kita cari dudukan yuk, ga mungkin semaleman kita duduk sini terus” kata mas Adin semangat. “mau cari dudukan dimana?” | “ya cari, di gerbong lain”. Hmm… baiklah. Kami mulai menyusuri lorong demi lorong yang sempit sambil membawa 2 koper besar, melihat ke kompartemen apakah ada dudukan kosong, membuka pintu gerbong satu persatu. Trust me it wasn’t easy dalam kondisi kereta yang bergoyang, dengan lorong yang sempit dan remang. Kami belum juga menemukan tempat duduk.
Bayangan lorong sempit night train. Kalo malem gelap loh. Source: google.
Sleeper Cabin, tipe kabin yang lebih mahal daripada yang dudukan. Kami bukan membeli tiket yang ini. Gambar keperluan iklan ini sungguh sangat terlihat nyaman, padahal..... Source: Google.
Sempiit cooy! Source: Google.
Nah kami beli tiket tipe ini, 1 kabin isi 6 orang. Jangan dibayangkan lapang. yang sesungguhnya adalah...... Souirce: Google.
Sempit ugha!. Untuk yang kakinya panjang dengkulnya bisa kena depannya. Tapi nyaman sih, timbang duduk di lantai gerbong barang wkwk.
Tidak mudah untuk menemukan bangku kosong, karena dalam rangkaian kereta ini ada kelas-kelasnya. Kami membeli tiket kelas 2, tentunya nggak bisa sembarangan duduk di kelas 1 atau tipe sleeper cabin. Kami harus duduk di kelas yang sama dengan tiket kami. Kami makin menuju gerbong belakang, kira-kira sudah +- 5 gerbong kami lewati waktu itu. Di gerbong belakang ini sepertinya ada harapan akan dudukan, saya hampir bahagia, karena banyak yang kosong dan kelasnya sesuai dengan tiket kami. Tapi kemudian kami bertemu lagi dengan Mr. English Please yang nampaknya sedang kebingungan. “we can’t sit here!” | “what?, why?” | “where are you going?” |”Hallstatt” |”Hallstatt? Where is it? Destination of Innsbruck or Vienna?” |”Vienna” jawab mas Adin mantab.| “I’m going to Vienna, this train will separate by two at 3am in Nurnberg, and this part will bring you to Innsbruck”, “look!” katanya sambil menunjuk tulisan di jendela pintu gerbong yang bertulisan “Nurnberg to Innsbruck, 3am”. “so we have to get back , don’t look for a seat in this area”. YaAllah… apalagi ini?!.

Jadi ternyata night train di Eropa itu sudah biasa melakukan putus-sambung gerbong. Satu gerbong kemana, satunya lagi kemana, putusnya di stasiun tertentu & jam tertentu, tanpa pemberitahuan, tanpa tedeng aling-aling kalo orang Jawa bilang. Jadi kalo kereta yang kami naiki ini gerbongnya akan berpisah di Station Nurnberg jam 3 pagi. Rangkaian gerbong depan tujuannya akan berakhir di Vienna. Sedangkan rangkaian gerbong belakang tujuannya berakhir di Innsburck. Batasan gerbong mana yang terpotong kami nggak tau, mungkin yang di jendelanya ada tulisannya, tapi nggak tau gerbong mana pastinya.
Kira-kira seperti ini gambaran pisahnya gerbong kereta. Karena tujuan kami adalah ke Wels, maka kami harusnya duduk di gerbong depan yang arah Vienna (Wina).
Sebetulnya naik night train Eropa itu nggak perlu ribet sama acara pisah-pisahan gerbong ini asalkan kita duduk di gerbong yang bener InsyaAllah nggak ada masalah sih, tapi klo pake aksi pindah-pindah gerbong macam kami malam ini, kalo sampe nggak notice ya BHAY deh!. Kami bersyukur sekali diingatkan oleh Mr. English Please, coba kalo nggak ketemu dia, mungkin kami udah duduk di gerbong itu semaleman, trus ngorok, jam 3 pagi gerbong pisah dan masih ngorok, bangun pagi tau-tau ada di Innsbruck. Hahahahahaha…stress!

Mas Adin sempat baca tentang sistem night train yang pisah-pisah rute ini di blognya mbak Vicky sekilas, makanya mas Adin langsung paham waktu Mr English Please bilang gitu.
Potongan artikel di Blog Jejak Vicky, yang bikin mas Adin paham maksudnya Mr. English Please.


Apakah kesialan kami telah berakhir?

Kami kembali menggotong koper kembali ke gerbong depan, tujuan kami mencari area duduk di gerbong depan. Mr. English Please sudah tak nampak lagi. Di tengah perjalanan menuju gerbong depan kami bertemu wanita cantik membawa koper besar seperti kami sedang ngomel-ngomel ke petugas pake bahasa Jerman. Sepertinya bernasib sama. Melihat kami membawa koper juga akhirnya kami ngobrol, dia menyapa duluan dengan bahasa Inggris. Intinya dia sama keselnya kaya’ kami karena gerbong 251 nggak datang. Tujuan dia ke Vienna artinya dia juga nggak bisa duduk di gerbong-gerbong kosong di belakang. Kami harus ke gerbong depan.

Kami bertiga kembali menuju ke gerbong depan melewati lorong yang sempit membawa barang bawaan masing-masing yang berat & besar, oh believe me it wasn’t easy (sengaja ditulis 2x). kembali melewati +- 5 gerbong, total malam ini kami jalan-jalan 10 gerbong hahaha.

Sampai di gerbong barang (tempat kami duduk lesehan tadi), kami belum juga dapat tempat duduk kosong, semua sudah full. Sebetulnya nggak full-full bgt, karena penumpang kereta duduknya juga pada kurang ajar sih, dua bangku dibuat bobok selonjor, ngorok, pake selimut, “pasti enak bgt rasanya kalo aku yang ada disitu” saya membayangkan. Penumpang terlantar yang lain ada yang sudah dapat tempat duduk, termasuk Mr. English Please. 

Jadi singkat cerita kami putuskan malam ini kami akan duduk ndeprok saja di gerbong barang sampai pagi. “Ya Allah capeknya….” Kata saya sambil meregangkan otot. “kamu mau makan ayam?” saya nawarin mas Adin ayam KFC yang kami beli tadi di stasiun Köln. Ayam goreng yang kami pikir nikmat, kini rasanya sangat menjijikkan karena sudah dingin, seperti ayam masuk kulkas. Mending kalo cuma nggak hangat, ini kulit krispinya pun sudah memutih warnanya, ya persis ayam yang baru dikeluarin dari kulkas eww..!. 

Tiba-tiba beberapa detik kemudian saya tersadar kalo ada barang bawaan kami yang kurang. “Loh tripod kita mana?” saya bertanya ke mas Adin yang sebelumnya membawa tripod. “Wah iya.. mana ya?..”. YaAllah… makin lemes rasanya. Saya berusaha bertanya ke petugas kereta menanyakan apakah nampak barang kecil berwarna hitam yang tertinggal disini tadi mungkin saat kami ke gerbong belakang?. Petugas hanya bilang “no!” sambil berlalu, tanpa berusaha berfikir atau bertanya ke yang lain. “Oooh you suck..!” Saya pengen teriak gitu deh rasanya waktu itu, tapi nggak jadi karena saya baik hati, huff… Gagal bertanya ke petugas kereta, saya putusakan untuk menyusur gerbong yang kami lewati tadi sendirian. Mas Adin udah capek bgt kelihatannya karena barang bawaan yang dia bawa lebih berat dari bawaan saya. Saya bolak-balik lagi ke gerbong belakang-depan sambil bertanya ke petugas di tiap gerbong tapi tetap hasilnya NIHIL. Badan saya waktu itu jangan ditanya rasanya gimana, lemes, kaya' jelly.


Pasrah…

List kesialan kami malam ini nambah satu lagi. Ini baru hari ke-2 keliling Eropa dan tripod kami sudah hilang. Padahal saya sudah membayangkan asyiknya berpose berdua sebanyak-banyaknya dan sebebas-bebasnya di menara Eiffel, Louvre atau di salju-salju nanti pas di Swiss. Tapi aahh.. sudahlah..!


Saya, mas Adin dan cewek Jerman itu duduk di kabin di gerbong barang. Si cewek Jerman sibuk menelfon seseorang sambil menyumpah-nyumpah. Sedangkan kami mencoba tidur tapi belum bisa merem. Akhirnya kami bertiga ngobrol, awalnya saling bertanya darimana menuju kemana. Dia bilang saat ini dia berdomisili di Köln sedangkan aslinya dari Berlin, orang tuanya juga tinggal di Berlin. Malam ini dia mau ke rumah sisternya di Vienna. Giliran kami bercerita, “kami traveler dari Indonesia yang beruntung dapat tiket promo (baca ceritanya disini), ini pertama kalinya loh bagi kami ke Eropa”. “ooh dari Indonesia, saya pernah loh ke Indonesia, ke Bali”. Waah makin panjanglah obrolan kami malam itu, tadinya hubungan kami adalah ‘teman senasib’, tapi begitu dia bilang dia suka makan Nasi Goreng hubungan kami adalah ‘Nasi Goreng sisterhood’. 

Dia bercerita, dulu waktu habis lulus high school dia ga pengen langsung kuliah tapi pengen kerja dulu di luar negeri, karena pengen banget bisa Bahasa Inggris. “kadang remaja Jerman itu harus keluar Jerman dulu loh supaya bisa Bahasa Inggris” dia bilang gitu. Wow… kagum saya, bule dari negara maju pun pengen cari pengalaman sampai ke negara lain dulu supaya bisa belajar Bahasa. Dulu dia bekerja di Nursing Home (panti jompo) di Australia jadi aged care (nanny-nya orang jompo), makanya dia bisa jalan-jalan sampe ke Indonesia. Emm.. demi pengalaman dan pengetahuan bahasa, mau gitu kerja di tempat yang jaraknya terpisah belasan ribu kilo meter dari tempat asalnya, jadi nanny pula’. Bayangkan, remaja cewek baru lulus SMA gitu loh. Coba kalo ditanya ke orang kita, mau ga u..? hehehe. Memang beda budaya, beda kebiasaan sih. Remaja kita terbiasa habis lulus SMA ya umumnya kuliah, kalo ngikut aliran yang nggak umum gitu biasanya siap-siap jadi omongan. Padahal yang ngomongin juga nggak ikut mbiayain kuliah hehe. Jangankan kerja di luar negeri, kuliah keluar kota ada kadang masih “digandolin” sama orang tua, apalagi anak cewek. Nggak semua orang tua memang, orang tua saya buktinya, tapi fenomena seperti ini masih banyak. Entah awalnya siapa yang menciptakan tradisi ini. Tapi balik lagi kalo dipikir-pikir dia orang Jerman, kekuatan paspor Jerman itu nggak usah diragukan, dia bisa sebebasnya pilih mau ke negara mana aja, urusan perijinan tinggal nggak seribet WNI pastinya. Rate mata uang mereka pun di bawa kemana-mana ga masalah. Bandingkan sama Rupiah yang ratenya busuk. Klo WNI mau bekerja ke LN banyak persiapan tetek-bengek, kalo mau cari kerja sendiri, apa-apa sendiri ya berarti swadaya sendiri yang artinya you must be rich to get through OR you must be very clever so you can get the scholarship, hmm..!.
Muka uwa amburadul bgt dah terpaksa di sensor, muka' cewek Jerman itu walopun kucel tetep cantik, uugh...
Si cewek Jerman bertanya, berapa harga tiket kereta kami. “ 78 for 2” jawab mas Adin. “for God sake 78..?” katanya kaget, dia membandingkan harga tiket kami dengan harga tiketnya yang jauh lebih murah (saya lupa berapa, tapi emank harga tiketnya dia murah bgt). Trus dia bilang “Gila’ mahal bgt, kalo aku jadi kalian aku minta refund deh”. Kami yang sudah pasrah cuma bisa senyum kecut. Lalu dia bilang “Sini aku tulisin surat komplain buat kalian, coba nanti kalian urus ya komplainnya via website atau alamat email yang ada di webnya, kali aja bisa!”. Waah bhaique sekali my ‘Nasi Goreng sisterhood’.
Surat complain untuk OBB. Tiket keretanya bahasa Jerman.
Capek ngobrol, kami sama-sama ga betah lagi rasanya duduk di lantai kereta, bokong kami mati rasa, mencoba tidur berkali-kali pun gagal. Akhirnya si cewek Jerman bilang “oh serius deh, aku udah ga tahan duduk kaya’ gini, aku mau duduk di gerbong belakang aja. Mau tembus Innsburck besok pagi juga gpp deh bodo amat, besok pagi aku beli tiket lagi aja dari Innsburck ke Vienna. Perjalanan aku masih panjang bgt, lebih panjang dari kalian. Aku mau ke gerbong belakang, kalian mau ikut nggak?. Tapi kalo saran aku sih kalian jangan nerus sampe ke Innsburck, tiket kalian kan mahal, lagian nanti jam 6 pagi kalian juga sudah turun dari kereta sialan punya Austria ini” katanya sambil menendang bagian kereta dengan kakinya. “Nanti sebelum jam 3 pagi, sebelum gerbong berpisah, kalian balik ke sini aja”.

Emm.. sebuah ajakan yang menggoyahkan iman dan mengetuk relung-relung sanubari, namun sangat risky tentunya. Kami berdua bernegosiasi dan kami putuskan untuk ikut ke gerbong belakang. Saat itu kira-kira waktu menunjukkan pukul 12 malam, tidur 1-2 jam pun tak apalah pikir saya, daripada tidak sama sekali. Akhirnya kami putuskan cari tempat duduk di gerbong belakang. 

Singkat cerita kami duduk di salah satu kompartemen yang tadinya berisi 3 orang. Berhubung ada kami ber 3 jadi 6 orang deh, 4 orang diantaranya adalah kami para korban gerbong (saya, mas Adin, si cewek Jerman & 1 cowok Jerman). Rupanya seorang cowok Jerman yang bernasib sama ini tujuannya juga ke Vienna dan dia memutuskan untuk tiba di Innsburck saja & membeli tiket lanjutan ke Vienna saat di Innsburck nanti. Keputusan yang sama dengan si cewek Jerman. Artinya hanya kami berdua yang akan pindah ke gerbong depan lagi nanti.

“Sayang bangun… udah waktunya pindah gerbong” suara mas Adin membangunkan saya, Ya Allah rasanya baru 5 menit yang lalu tidur nyenyak, rupanya sudah hampir 1,5 jam saya tidur. Saya nggak tau mas Adin bisa tidur atau nggak. Waktu baru menunjukkan pukul 1:30 pagi sebetulnya, tapi kami putuskan pindah kegerbong barang lagi sekarang. Kami berpamitan dengan si cewek Jerman baik hati, sayangnya saya lupa untuk sekedar berselfie atau menanyakan namanya apalagi tanya email, fb atau Instagramnya. “Thank you so much for your help, you are so kind” kami berterima kasih untuk kebaikannya dan tentu untuk obrolan pembunuh waktunya.


Kembali ke Gerbong depan

Unbelieveable udah berapa kali malam ini kami bolak-balik gerbong bawa koper gede, udah kaya’ petugas patroli. Gerbong barang semakin sepi, hanya ada 2 pria duduk disitu, tadinya belum ada. 2 pria ini sepertinya baru saja naik dari stasiun lain. Saya meninggalkan gerbong barang untuk melihat-lihat gerbong lain di depan, kali aja udah ada kompartemen yang dudukannya kosong, akhirnya saya nemu 1 seat. Saya balik ke gerbong barang dan bilang ke mas Adin, “eh di gerbong sebelah ada 1 kursi kosong, kamu bisa duduk situ, kamu kan tadi nggak tidur, aku tadi sudah. Ayolah kamu duduk situ, nanti kamu sakit kalo nggak tidur”. Mas Adin nggak mau dan malah memaksa saya untuk duduk situ, “biar aku aja disini jaga barang, kamu duduk sana aja”. Uugh.. cayangnya cama cuamiku. Akhirnya saya mendapat tambahan waktu tidur di kursi yang nyaman, tapi tidur saya kali ini nggak nyenyak karena bolak-balik nengokin mas Adin.



Badai pasti berlalu

Kira-kira pukul 3 pagi kereta kami terasa berhenti agak lama, kemudian terasa guncangan-guncangan kecil. Saya pikir “emm.. ini pasti saat perpisahan gerbong”. Beberapa jam kemudian saya sudah nggak ngantuk lagi. Saya cuma duduk melamun, “Ya Allah, setelah apa yang kami lewati malam ini, apakah tempat yang akan kami kunjung nanti sebanding dengan pengorbanan kami?”. “Apakah Hallstatt akan benar-benar seindah gambarnya?”. “Mengingat ini masih hari ke-2 perjalanan kami, kira-kira kesialan apalagi yang akan kami hadapi? apakah bisa lebih buruk dari hari ini?”. “Lindungi kami Ya Allah, semoga ini kesialan pertama sekaligus terakhir untuk kami”.
Pukul 3 pagi gerbong pisah di Nurnberg. (sengaja posting ulang gambarnya).

Waktu menunjukkan kira-kira pukul 4:30am. Saya bingung sudah masuk waktu subuh belum ya? mau tanya ke siapa? sholat dimana ini?. Handphone nggak ada sinyal, wifi pun tak ada. Tiba-tiba pria ber-ras Kaukasoid yang duduk di depan saya yang sedari tadi hanya berpandang-pandangan melakukan gerakan yang sepertinya tayamum. Saya hanya memperhatikan tanpa berkata-kata, ternyata benar dia sedang tayamum dan kemudian sholat. Subhanallah, melihat pemandangan seperti itu di tengah kelelahan ini. Selesai pria tadi sholat saya memberanikan diri bertanya, “sorry, is it already Fajr?” | “it’s been 20’mins ago” kata pria tadi sambil tersenyum. Lalu saya sholat, bergantian dengan mas Adin di dalam kereta. 

Dalam 1 jam lagi kami akan sampai di Wels Hbf, pemberhentian pertama kami sebelum menuju Hallstatt Hbf. Kereta di jadwalkan tiba pukul 6 am di Wels. Dari Wels Hbf kami akan berganti kereta intercity menuju Hallstatt Hbf. 
Di station Wels kami akan menuju Hallstatt station dengan kereta Intercity, nggak perlu booking nomer tempat duduk, nggak perlu kuatir nggak punya gerbong.
Hari mulai terang, pemandangan dari luar jendela kereta mulai terlihat. Kami mulai semangat lagi memulai petualangan hari ke-3, walaupun semalam sangat kurang istirahat. Saya melihat ke jendela luar sambil sesekali memotret dengan kamera handphone. “Kita ada berapa kali lagi perjalanan naik night train kaya’ gini?”, saya bertanya ke Mas Adin walaupun sebetulnya sudah tau jawabannya. “1x lagi ke Roma, 1x ke Paris naik bus. Kenapa?”, mas Adin balik tanya. “Semoga nggak kaya’ gini ya!”. Tentu saja pengalaman pertama kami naik night train ini membuat agak trauma. Tapi banyak pelajaran yang dapat diambil dari perjalanan hari ini, perjalanan dari pagi hari hingga pagi lagi. Every experience is priceless, every experience teaches a lessons.
Pemandangan pedesaan Austria di pagi hari yang sempat saya abadikan tengan kamera HP.
To be continued to story day 3......

Main pic source: Centro Hotel Köln (Google).

CONVERSATION

1 comments:

Back
to top